Total Tayangan Halaman

Jumat, 14 September 2012

sejarah Intlektual

Sejarah Intelektual (Sartono Kartodirdjo) dan Pemikiran Islam (Kuntowijoyo)
Sejarah intelektual dalam bahasa Sartono Kartodirdjo adalah mencoba mengungkapkan latar belakang sosio-kultural para pemikir, agar dapat mengekstrapolasikan faktor-faktor sosio-kultural yang mempengaruhinya. Dengan demikian, kita tidak mudah jatuh ke suatu absolutisme atau determinisme. Memang pandangan historis sebaiknya akan lebih mendorong ke suatu relativisme dalam menghadapi pelbagai ideologi beserta doktrin-doktrinnya. Pengkajian bidang sejarah intelektual dari yang barang tentu memiliki peninggalan tertulis, cukup dipermudah dengan adanya dokumentasi pelbagai mentifact. Aspek yang sangat menarik dari sejarah intelektual ialah dialektik yang terjadi antara ideologi dan penghayatan oleh penganutnya. Adapun tema-tema yang dikembangkan dalam Sejarah Intelektual adalah pemikiran yang dilakukan oleh perseorangan (Soekrano, Natsir, John Locke), Isme atau Paham (nasionalisme, sosialisme, pragmatisme), gerakan intelektual (aliran Frankfurt, Strukturalisme, Pasca Modernisme), periode (The Age of Belief, Renaissance, Pencerahan), dan pemikiran kolektif (MUI, Muhammadiyah, NU).
Kuntowijoyo mengemukakan bahwa perkembangan pemikiran Islam di Indonesia dibagi menjadi tiga fase, yakni fase religis, fase ideologis dan sistemis. Dalam buku Penjelasan Sejarah, Kuntowijoyo menjelaskan arti ketiga dengan bahasa Periodisasi Sejarah Kesadaran Umat Islam Indonesia: Mitos, Ideologi dam Ilmu. Kuntowijoyo menjelaskan adanya evolusi kesadaran, ke dalam tiga periode berturut-turut, yaitu kesadaran mistis, kesadaran ideologis dan kesadaran ilmiah. Periodisasi dimulai pada abad ke-19 sampai kurang lebih tahun 2000an. Periode mitos terjadi ketika umat berpikir bahwa seorang pemimpin (Imam Mahdi, Ratu Adil) akan membebaskan mereka dari ketidakadilan. Periode ideologi terjadi ketika umat menganggap bahwa ideologi politik akan membawa mereka kepada kemenangan. Periode ilmu dicapai ketika umat percaya bahwa jalan ilmu (rasionalitas, objektivitas, inklusivitas) akan mengangkat mereka dari keterpurukan dan menjadikan Islam sebagai rahmat untuk seluruh manusia. Dalam analisis saya, pandangan Kuntowijoyo ini erat kaitannya dengan lintasan sejarah pemikiran Indonesia yang memang disetiap zamannya selalu ada karakteristik khusus (selalu ada zeit geist atau semangat zaman). Fase pertama yaitu periode religis atau mistis muncul pada abad ke-19 ketika perubahan-perubahan pemikiran Islam ramai atau dapat dikatakan sebagai pembaharuan Islam terjadi di tanah air misalnya keberadaan Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabau yang melakukan pembaharuan Islam di wilayah Padang dengan mengkritisi dan menyerang tradisi kaum adat, atau Syaikh Ahmad Chatib Sambas yang menggabungkan Tarekat Naqsabandiyah dan Qadariah menjadi Tarekat Qadariah wan Naqdabandiyah, hal serupa dilakukan oleh Syaikh Abdul Sammad Al Palembangi, keduanya bergerak dalam bidang tarekat atau tasawuf. Pada fase ini, kharisma kepemimpinan sesorangan sangat menonjol sekali untuk mampu mempengaruhi masyarakat kedalam pemikirannya. Kemudian pada periode Ideologis, dapat dipetakan pada paruh pertama abad ke-20 sekitar tahun 1900-1950an. Pada fase ini, perkembangan ideologis diawali dengan kemunculan ideologi Kebangsaan yang datang dari kaum liberal Eropa sebagai akibat bermunculannya negara-negara kesatuan, ideologi Islam yang terinsiprasi dari konsep Pan Islamisme Jamaluddin Al Afgani, maupun ideologi Marxis Sosialis yang didatangkan dari Eropa Timur (Uni Soviet). Semua ideologi ini saling berebut kekuasaan dan pengaruh di Indonesia terutama kepada umat Islam yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia, puncak dari periode ini adalah ketika Soekarno mengagas NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) sebagai upaya penggabungan dari tiga pemikiran ideologi besar yang eksis di Indonesia waktu itu pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-2965). Terakhir adalah periode sistemis atau ilmu, pada periode ini perkembangan ilmu pengetahuan yang sedemikian pesat pada paruh kedua abad ke-20 mendorong umat Islam untuk lebih rasional dalam menjawab tantangan maupun permasalahan masyarakat dan zaman. Maka muncullah pemikir-pemikir Islam semisal Kuntowijoyo sendiri, atau Nurcholish Majid, Harun Nasution, HM. Rasyidi dan lain sebagainya. Mereka semua memadukan berbagai aspek ilmu pengetahuan untuk pada akhirnya mendapakan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam umat islam pada paruh kedua abad ke-20 ini.

Kuntowijoyo mengatakan bahwa sejarah pemikiran selalu mulai dari teks, “pada mulanya adalah teks (dengan ditebalkan oleh Kuntowijoyo sendiri)”. Karenanya tidak membatasi diri hanya pada pemikiran perorangan, dan pemikiran–pemikiran teoritis sebagaimana lazimnya sejarah intelektual, tetapi juga pemikiran praktis dari sosiologi pengetahuan. Maka disini, masih menurut kuntowijoyo fungsi teks dapat disederhanakan termasuk aplikasi dalam penulisan sejarah:
a.genesis pemikiran misalnya Tjokroaminoto yang menulis tentang Islam dan Sosialisme terpengaruh buku-buku agama tentang kesalehan para pemimpin islam terdahulu. Kemudian Islam dan Sosialisme mempengaruhi tokoh-tokoh Masyumi, karena kemudian buku ini berkali-kali dicetak kembali oleh penerbit Masyumi.
b.konsistensi pemikiran, dalam buku Deliar Noer, Mohammad Hata: Biografi Politik kita melihat betapa konsistennya Hatta dalam bersikap terhadap komunisme. Demikian pula konsistensi sebagai seorang puritan yang demokrat yang nampaknya menjadi sebab perpisahan dengan Soekarno.
c.evolusi pemikiran, misalnya pemikiran kemanusiaan Soejatmoko yang digambarkan dalam disertasi Siswanto Masruri Menuju Humanitarianisme: Studi Evolusi Pola Pemikiran Kemanusiaan Soejatmoko digambarkan pemikirannya berevolusi dari soal-soal nasionalisme, ke humanisme, dan akhirnya ke humanitarianisme.
d.sistematika pemikiran, misalnya disertasi Sri Suhandjati Ajaran Tatakrama Yasadirpura II dalam Serat Sasanasunu: Perpaduan Syariat Islam dengan Budaya Jawa.
e.perkembangan dan perubahan, misalnya buku Soekarno Dibawah Bendera Revolusi nampak adanya perkembangan dan perubahan dalam konsep pemikiran sesudahnya. Konsep Nasionalisme, Islam, dan Marxisme dalam buku itu berkembang dan berubah menjadi NASAKOM pada pra-1965. Islam berkembang dan berubah jadi Agama, dan Marxisme jadi Komunisme.
f.varian pemikiran, misalnya buku Clifford Geertz Abangan, Santri, Priyai dalam Masyarakat Jawa.
g.komunikasi pemikiran, dalam buku Dibawah Bendera Revolusi yang merekam pemikiran Soekarno dalam Fikiran Rakyat ada sedikit komunikasi intelektual antara Soekarno dan A. Hassan mengenai najis, tetapi kita belum melihat secara langsung jawaban-jawaban A. Hassan.
h.internal dialectics dan kesinambungan pemikiran, buku Herbert Feith dan Lance Castle (eds), Indonesian Political Thinking 1945-1965 mendokumentasikan pemikiran politik dua dasawarsa dalam lima belas pokok pikiran.

Mengamati pemikirian Sartono Kartodirdjo dalam kajian sejarah Intelektual yang berkaitan dengan sosio-kultural bahwa ternyata segala sejarah intelektual yang memerlukan teks dalam kajiannya itu, takkan pernah lepas dari bahasa dan simbol-simbol lokal yang tentu saja harus bisa dipahami dari kebudayaan yang mempunyai mentifact (fakta kejiwaan) tersebut. Maka diperlukan pengetahuan kebudayaan untuk dapat menginterpretasikan berbagai makna kata-kata sebagai simbol dari pikiran, ide, nilai dan lain sebagainya. Misalnya mengenai mitos Nyai Roro Kidul sebagai cerita rakyat atau yang tercantum dalam Babad Tanah Jawi. Apakah peranan tokoh mitologis itu dalam masyarakat Mataram khusunya dalam dinastinya? Kepercayaan pada tokoh itu adalah mentifact, terlepas dari realitas objektifnya. Untuk memahami peranan tokoh itu diperlukan pengetahuan kebudayaan Mataram serta pandangan dunianya, yaitu adanya aliansi antara Dewi Lautan Selatan dengan Raja Mataram, suatu persekutuan yang mencerminkan kepercayaan akan gambaran dunia sebagai makrokosmos sebagai persatuan manusia dengan alam semesta. Proses mitologisasi atau kosmosisasi itu akan memberi makna penting bagi eksistensi penguasa.
Sejarah intelektual
Fokus utama sejarah intelektual adalah bagaimana lahirnya pemikiranpemikiran
manusia. Pemikiran-pemikiran yang dikaji dalam sejarah intelektual
adalah pemikiran yang memberikan pengaruh terhadap kehidupan manusia,
baik dalam ruang lingkup yang kecil maupun ruang lingkup yang besar.
Hasil pemikiran manusia dapat berupa filsafat atau ilmu pengetahuan.
Apabila filsafat yang dikaji, maka akan melahirkan sejarah filsafat, misalnya
aliran-aliran filsafat yang berkembang di Yunani. Hal ini menjadi kajian sejarah
yang menarik karena pemikiran filsafat Yunani memberikan pengaruh yang
cukup besar terhadap perubahan dunia.
Sejarah intelektual bisa dikaji dalam konteks perkembangan ilmu
pengetahuan. Misalnya perkembangan ilmu pengetahuan di Barat. Untuk melihat
bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan di Barat, maka harus dilacak
ke belakang, yaitu perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Islam. Orangorang
Barat pada masa itu banyak mempelajari pemikiran-pemikiran dari
para cendikiawan muslim, seperti ilmu kedokteran dari Ibnu Sina, sehingga
di Barat nama Ibnu Sina dikenal dengan sebutan Avicena. Kajian tentang
perkembangan ilmu pengetahuan di Barat dapat merupakan tema dalam sejarah
intelektual.
Sejarah intelektual di Indonesia dapat kita kaji. Kita dapat mengkaji
beberapa pemikiran tentang tokoh-tokoh. Bagaimana kita mengkaji pemikiranpemikiran
para tokoh pejuang Indonesia, kita dapat mulai mempelajarinya
dari latar belakang pendidikannya. Kebanyakan dari tokoh-tokoh pejuang
Indonesia berlatar belakang pendidikan Barat (Belanda). Walaupun mereka
belajar dari pemikiran-pemikiran Barat, tetapi dalam prakteknya para tokoh
tersebut mencoba menyesuaikan dengan kondisi objektif masyarakat di Indonesia.
Misalnya gagasan tentang ekonomi kerakyatan menurut Mohammad Hatta,
gagasan marhaenisme menurut Soekarno, gagasan nasionalisme manurut Ki
Hajar Dewantara, gagasan tentang negara menurut Mohammad Natsir, gagasan
sosialisme menurut HOS Cokroaminoto. Gagasan-gagasan dari para tokoh
pemimpin Indonesia ini penting kita pelajari, karena gagasan-gagasan mereka
cukup berpengaruh dalam perubahan sosial politik di Indonesia. Marhaenisme
Soekarno pada dasarnya merupakan bentuk sosialisme yang ditafsirkan dengan
kondisi nyata bangsa Indonesia. Nasionalismenya Ki Hajar Dewantara adalah
nasionalisme yang berakar dari kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa. Gagasan
nasionalismenya kemudian ia terapkan pada sistem persekolahan yang didirikannya, yaitu Sekolah Taman Siswa. Sekolah ini memberikan peran
sejarah yang cukup penting dan sampai sekarang sekolah ini masih tetap
ada. Sosialisme Cokroaminoto merupakan bentuk reaksi terhadap komunisme
yang waktu itu masuk ke dalam tubuh Syarekat Islam. Gagasan nasionalisme
Cokroaminoto berakar dari nilai-nilai agama Islam. Ekonomi kerakyatan yang
dimaksud oleh Mohammad Hatta dan cocok dengan nilai-nilai budaya bangsa
Indonesia adalah koperasi, karena dalam diri bangsa Indonesia terdapat nilai
kekeluargaan yang merupakan ciri dari koperasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar